Menanam Bibit Bukti Pembangunan Pendidikan di Kampung (Bagian Pertama)


By : Yosef Rumaseb
Email : yosef.rumaseb@hotmail.com


Entah di buku apa saya membaca pernyataan ini "bila bangsamu ingin merdeka, perkokoh dulu pendidikan dalam negerimu". Hal itu, antara lain, mendorong dan saya untuk turut menggiatkan pembangunan pendidikan terutama di kampung, saya ingin bangsa saya membebaskan dirinya dari penindasan.

Jalan pikirku sederhana hanya melaksanakan "pray for peace ". Dan definisi pray buatku adalah dengan mengulurkan tangan menyingsingkan lengan bagi mereka yang adalah bagian dari kita yang tertindas. Pada konteks ini, adalah tertindas dalam dunia pendidikan, kemiskinan, dan moral. Jadi, membebaskan bangsaku dari penindasan pendidikan, kemiskinan, moral.

***

Perkuat pendidikan? Bila pendidikan kita kuat, maka bangsa kita bisa kuat. Saya jadi ingat, banyak anak bangsa saya saat ini hidup di kampung yang berada jauh dari ketersediaan fasilitas pendidikan berkualitas.

***

Jika kita menelusuri jejak-jejak sejarah pendidikan Papua, kita akan menemukan maha karya dan bhakti banyak pelaku. Baik orang tua kita jaman dulu, missionaris, lembaga agama, LSM, individu-individu, guru-guru entah Papua asli atau pendatang dan tentu saja pemerintah. Banyak nama-nama besar sudah memberi kontriubusi – kiranya TUHAN memberkati mereka. Tapi tugas mereka adalah sebuah permulaan. Tantangan masih terus ada sepanjang sejarah manusia dan bangsa mana pun ada, termasuk manusia dan bangsa Papua. Dan sayangnya, kekuatan maha karya masa lalu itu saat ini makin memudar.

Situasi umum yang mudah kita amati di kampung-kampung terpencil adalah demikian. Satu keluarga pada umumnya ada lebih dari 5 anak dan semua tinggal dalam satu rumah, umumnya berukuran 6 X 7 m. Kadang kala satu rumah dihuni oleh keluarga utama (Bapa dan Mama) dan keluarga anak (atau anak mantu). Jarang ada tempat belajar khusus untuk anak seperti meja belajar atau ruang belajar. Sedikit saja yang beruntung memiliki penerangan dalam rumah. Dan di sanalah tunas muda harapan bangsa itu tinggal.

Pada pagi hari dia bangun tidur, mandi lalu sarapan dan mengenakan seragam, memanggul tas dan berangkat ke sekolah. Tiba di sekolah, mungkin saja ada pelajaran yang diberikan, tetapi lebih sering tidak --- karena guru sedang berada di kota entah untuk kepentingan dinas atau pribadi. Jarang dijumpai perpustakaan, ruang komputer atau laboratorium di sekolah yang bisa menyibukkan siswa yang tidak belajar karena guru masih di kota

Usai jam sekolah, si siswa pulang, melepas pakaian seragam, makan siang dan lalu bermain. Pada malam hari, sebagian besar di antara mereka pergi melaut atau bermain, tidak belajar. Listrik pada sebagian besar kampung belum ada. Apalagi akses untuk memperoleh informasi alternative nyaris tidak ada. Satu-satunya media informasi adalah televisi di rumah tetangga, yang sayangnya, masih dipenuhi acara sinetron yang kisah cinta picisan, cengeng, tendensius, penuh akting dari bencong, horror, maupun kekerasan.

Masalah lain juga muncul dari sisi adat dan budaya. Dalam pergaulan sehari-hari, anak-anak kampung-kampung mulai kehilangan akar budaya. Bahasa daerah jarang digunakan, pemahaman kearifan lokal berkurang, pengetahuan mengenai hubungan keluarga juga berkurang. Proses belajar budaya dari orang tua ke anak tidak berjalan baik. Oleh karena itu, kalau suatu ketika nanti orang tua yang mengerti bahasa, budaya dan adat sudah meninggal, maka generasi baru akan menjadi generasi yang kehilangan identitas. Generasi yang identitasnya terbentuk oleh pengaruh televisi dan media massa.

Dengan kondisi semacam ini, sekurang-kurangnya ada tiga masalah besar bagi anak Papua di kampung. Pertama kegiatan belajar anak baik di sekolah maupun di rumah sangat minim. Kalah dengan aktivitas belajar siswa di tempat lain. Akibatnya, anak kampung akan kalah bersaing. Kedua, mental spriritual anak-anak di kampung dalam jangka panjang akan terpengaruh dengan tontotan di televisi yang tidak seluruhnya sesuai dengan missi pendidikan. Kalau keadaan ini tidak diatasi, maka kondisi moral spiritual generasi muda Kristen di masa depan akan terancam. Dan ketiga, generasi Papua yang akan datang akan menjadi generasi yang tidak tahu bahasa, budaya dan adat masing-masing. Akan menjadi generasi tanpa identitas budaya marga atau sukunya.

***

Bagaimana keluar dari keadaan ini? Seharusnya yang bisa merubah hal ini adalah pertama dari kita sendiri. Tuhan sudah kasih kita banyak berkat : Dia kasih tenaga, pikiran, ada keluarga besar, ada tanah, batu, ada hutan, ada laut, ada kekuatan yang bisa kita pakai untuk mulai bikin perubahan. Terserah kita sekarang, mau pakai berkat-berkat itu untuk merubah keadaan ini kah atau mau tetap begini saja? Kedua, kita punya sodara-sodara banyak yang sudah merantau, mahasiswa Papua di berbagai kota study, karyawan di berbagai perusahaan kerja di luar, punya pendidikan, dan punya kerinduan untuk bantu bangun kita punya kampong. Kita bisa kasih suara ke mereka untuk sama-sama bangun kampong ini. Terserah kita saja mo, kita mau terima mereka dan kerja sama dengan mereka kah atau mau tolak dan usir mereka dari kampong ini. Dan ketiga, baru sesudah itu, apakah kita mau bangun kerja sama dengan pemerintah atau lembaga lain kah atau tarada. Kalau kita sadari semua ini dan pakai dengan baik, saya percaya bahwa Tuhan akan juga berkati kita punya pekerjaan sama seperti Dia berkati kita punya tete nene moyang di masa lalu

Tantangan kita saat ini terutama, menurut saya, adalah merubah pandangan masyarakat kita tentang pentingnya pendidikan. Dan masalahnya, merubah kondisi ini dengan merubah pandangan orang kampung tidak mudah. Sikap orang di kampung adalah demikian, ”kurangi pidato, mulailah dari bukti karya nyata”. Terhadap berbagai workshop dan kampanye, masyarakat di kampung sering menyindir, ”sudah banyak bibit pidato dihambur di sini, jarang tumbuh apalagi berbuah. Kami perlu bibit bukti sekarang”.

Karena itu, saya tidak ingin memulai dengan tanam bibit pidato tentang hal-hal di luar sana; bibit pidato yang seperti itu sudah banyak orang tanam. Yang kurang ditanam adalah bibit bukti dari dalam rumah sendiri. Apa yang akan saya lakukan?

Bersambung .....

0 komentar:

:::PENGUNGUMAN:::
English French German Spain Italian Dutch