Menanam Bibit Bukti Pembangunan Pendidikan di Kampung (Bagian Kedua)

Oleh Yosef Rumaseb
Email : yosef.rumaseb@hotmail.com

Dunia kerja mengharuskan penguasaan IPTEK. Persaingan kerja melibatkan orang dari berbagai daerah dan negara. Tantangan kita adalah meningkatkan kualitas pendidikan anak kampung di Papua supaya tidak kalah bersaing dan lalu menjadi pengemis di negerinya sendiri.

Memang, konstitusi mengharuskan pemerintah untuk menyediakan pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Tapi, saya asumsikan peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai faktor given dalam pembangunan pendidikan. Artinya pemerintah sudah pasti akan menjalankan peran dan tanggung jawabnya. Maka fokus saya adalah mengajak kita berefleksi untuk menyamakan persepsi tentang peran kita dalam pembangunan pendidikan anak kampung. ”Kita” yaitu orang tua, anak sekolah, guru, tokoh agama, mahasiswa, pemerhati. Siapapun dia, sebanyak yang mencintai anak-anak bangsa di kampung-kampung di Papua.

oo0oo

Pada masa kanak-kanak, (1970-an), saya bersekolah di kampong terpencil, karena ayah saya bekerja sebagai mantri kesehatan di sana. Kampung itu di pedalaman selatan di Merauke, sekarang kampung-kampung itu sudah masuk wilayah Kabupaten Digoel. SD di Kampung Boma dan kemudian SMP di kampung Kawagit. Kampung ini dekat dengan perbatasan RI – Papua Nugini. Terisolir. Gaji ayah saya sebagai PNS, 6 bulan sekali baru diterima. Benar-benar terisolasi.

Saya ke sekolah jalan kaki, tanpa sendal, berpakaian bebas. Gedung sekolah kami beratap daun sagu, berdinding gaba-gaba. Guru hanya 3 orang untuk 6 kelas. Kami menggunakan batu tulis dalam proses belajar. Gembira sekali kalau mendapatkan nilai bagus, nilai dari Bapa Guru biasanya ditulis dengan kapur tulis di atas batu tulis. Kalau menerima nilai bagus, sengaja nilai itu kami tempel dan membekas di pipi. Semua orang yang melihatnya berkomentar dan memberi apresiasi. Bangga nian.

Tidak banyak buku referens waktu itu kecuali beberapa peninggalan jaman Belanda, karya I.S. Kijne. ”Ini apa, Ini api, babi lari, mana air, ini air ... api mati”. Dan berbagai pelajaran berhitung yang dasar-dasar pengajarannya dilakukan dengan menggunakan potongan lidi dari kelapa atau sagu. ”Satu lidi tambah satu lidi, sama dengan dua lidi.dst”. Benar-benar kampung oriented. Kemudian sejumah buku bacaan baru diintroduksi dari dari Jawa. ”Ini Ibu Budi, itu Bapa Budi”. Referens terakhir ini kemudian menjadi lelucon, ”Ini Budi ja pu bapa, itu Budi ja pu mama”. Hahahahaha.

Pelajaran juga ditambah dengan seni suara dan berkebun. Lagu-lagu membuat kecintaan terhadap kampung halaman dan lingkungan hidup, selain mengenai seni suara sendiri, meningkat. Lagu-lagu seperti “Desaku Yang Kuncintai”, “Dengarlah Suara Satwa di Dalam Hutan”. “Kucangkul ee, tanam ee .. kujadikan kebun kecil ku sendiri”. Indah sekali lagu-lagu itu dinyanyikan saat berkebun Dan ketika waktu panen tiba, hasil kebun (entah itu kacang tanah, pisang, ubi, dll) dibagi untuk Bapa/Ibu Guru, sisanya untuk pesta sekolah.

Setiap hari sabtu anak-anak sekolah cari kayu bakar, ikan, sayur dan bawa untuk Bapa Guru dan Mama Nyora. Hubungan guru murid, menurut saya, indah sekali. Sekalipun kadang kami dicambuk, prinsipnya adalah ”ada emas di ujung rotan”. Guru tetap dihormati, disegani, dan karena itu dia dan keluarganya betah.

Pendidikan agama menjadi salah satu yang utama. Dan, karena penduduk kampung-kampung tersebut beragama Kristen, maka kerja sama dengan pihak gereja dalam membina mental spritual anak-anak menjadi prioritas gereja. Berbagai katekisasi, sekolah minggu, dan ibadah minggu melengkapi pelajaran agama di sekolah. Ada kerja sama yang demikian baik.

Dasar-dasar di SD dan SMP di pedalaman selatan Papua itu ternyata mampu menyiapkan saya untuk percaya diri, tampil sebagai anak kampung yang sekolah di kota, juara kelas mengalahkan anak-anak kota, dan bisa melanjutkan pendidikan ke kampus di kota besar. Saya kemudian bekerja di satu kantor yang bertaraf international, memiliki jaringan kerja di lebih dari 100 negara di dunia. Dan beberapa kali saya mewakili misi kantor ke berbagai negara, seperti Australia, Amerika, Inggris dan ke Belanda selain juga di berbagai kota di Indonesia dan Papua.

Pendidikan di kampung memberi saya dasar yang kuat untuk tampil percaya diri sebagai anak kampung, saya tetap anak kampung sampai saat ini, tapi yang tidak kampungan. Saya memiliki kualitas tertentu yang memampukan saya masuk dalam pergaulan dan persaingan global. Pendidikan di kampung memampukan saya menempatkan diri dalam proses globalisasi.

oo0oo

Hari ini, saya merenung. Apa hikmah dari semua itu? Hikmah pertama, bahwa kualitas pendidikan seorang anak tidak ditentukan oleh mewahnya gedung sekolah dan gemerlapnya baju, sepatu dan tas sekolah yang digunakan. Juga tidak ditentukan oleh kaya miskinnya orang tua kita. Tidak ditentukan apakah kita tinggal di kota megah atau di kampung terpencil. Kualitas pendidikan ditentukan mulai dari proses-proses dalam rumah tangga kita (sekalipun keluarga kita hidup di gubuk), lingkungan sosial positif di mana mental spritual kita dibentuk secara baik oleh agama dan adat, dan oleh dasar-dasar yang kuat dalam proses pendidikan di sekolah dasar serta pengembangan yang tepat pada jenjang berikutnya.

Kedua, kurikulum pendidikan yang mendukung. Waktu lalu, kurikulum dititik-beratkan pada pendidikan bahasa (membaca, dikte, imalah, bahasa asing (Belanda/Inggris/Melayu/Bahasa Daerah, dll). Bahasa adalah pintu ilmu pengetahuan. Berikutnya adalah membentuk logika dengan pendidikan dan pengajaran matematika menggunakan alat bantu yang ada di kampung. Dan berikutnya adalah pendidikan budi pekerti melalui pendidikan agama yang secara baik melibatkan sekolah, lembaga agama, orang tua, tokoh masyarakat dan anak.

Ketiga, banyak orang Papua yang pintar yang dulunya bersekolah juga di kampung, dengan kondisi pendidikan yang sama seperti atau mirip dengan kondisi saya alami dan yang saya cerita di atas. Beberapa orang ternama bisa kita sebut. Dr. Benny Giay, Barnabas Suebu, SH, Dr. Agus Sumule, Dr. Frans Wanggai, Dr. Sagisolo, beberapa jenderal asli Papua seperti Freddy Numberi, Bram Atururi, dan masih banyak lagi sehingga akan makan ruang besar untuk menuliskannya satu per satu. Fakta empirik itu memberi keyakinan bahwa pendidikan anak-anak dari kampung-kampung terpencil di Papua dapat menghasilkan pemimpin bangsa.

Keempat, kondisi di kampung-kampung kita di Papua saat ini masih memungkinkan untuk dibenahi, jika kita mau. Hubungan guru dengan orang tua dan anak sekolah yang saling memberi dan menerima masih bisa dibangun. Rasa memiliki guru terhadap pembangunan masa depan anak sekolah, masih amat sangat mungkin untuk dikembangkan. Peranan lembaga agama dan lembaga adat untuk turut membentuk budi pekerti anak sedang berlangsung baik dan masih mungkin untuk dikembangkan. Kita belum kehilangan hal-hal mendasar yang bisa kita gunakan membangun masa depan anak kampung.


oo0oo

Pertanyaannya, apakah kita mau memulainya di kampung kita masing-masing?

(bersambung)

0 komentar:

:::PENGUNGUMAN:::
English French German Spain Italian Dutch