Menanam Bibit Bukti Pembangunan Pendidikan di Kampung (Bagian Ketiga)

by Yosef Rumaseb
Email : yosef.rumaseb@hotmail.com

Tentu saya jauh dari yang terbaik. Banyak orang  terbaik yang ada di Papua. Senang sekali saya pernah berkenalan dengan mereka. Saya menangkap beberapa kesan dari mereka. Beberapa kawan dari kampong, mengenyam pendidikan di kota dan lalu melalang buana, bercerita bahwa "rasa PD"nya menguatkan dia ke mana saja dia pergi. Rasa "PD" itu terbangun dari  pendidikan. Ciri "kampungan" dalam dirinya dilenyapkan oleh proses pendidikan. Pendidikan menjadikan dia "anak kampong tapi tidak anak kampungan".

Ciri kampungan bukan soal dandanan seperti pakaian, make up, atau hal-hal fisik lain. Perubahan dandanan fisik hanya pelengkap. Ciri kampungan di sini adalah ciri kepribadian, mencakup intelektualitas dan keterampilan. Beberapa ciri misalnya minder karena kurang menguasai IPTEK. Kurang PD, suka diam, bengong, gugup, atau tidak tau kata yang tepat untuk ungkapkan ide. Kalau bisa menjauh dari kelompok, dia akan menjauh, kecuali kalau dengan menjauh dia akan mendapat hukuman. Kurang "gaul".

Anak yang tidak kampungan beda. Dia memang tumbuh dan dibesarkan di kampong. Dia bangga karena itu. Tapi dia "gaul" dan "PD" sekalipun berada di tengah aktivitas anak kota. Dia didengarkan karena omongannya bernas dan tidak asal bunyi. Dia dipahami karena menggunakan bahasa yang dipahami, terstruktur, dan tepat. Dia mampu mengerjakan tugas yang menuntut penggunaan computer maupun internet, karena teknologi tersebut dikuasainya. Dia memimpin karena terdepan dalam inovasi, mampu berorganisasi, dan "anak gaul". Dia percaya diri untuk tampil di mana saja untuk peran apa saja yang positif dan berguna karena dia memiliki kemampuan yang diperlukan untuk melakukan hal tersebut. Dan sekalipun dia melalang-buana ke manca negara, hati kecilnya selalu memanggil dia untuk membangun kampungnya.

Kualitas "anak kampong yang tidak kampungan" ini bisa ditumbuh-kembangkan. Masalahnya adalah di beberapa kampong kita, proses ini berjalan tidak maksimal karena kurangnya fasilitas dan realisasi program pendidikan yang berkualitas.

***

Taman Baca bisa menjadi salah satu langkah intervensi untuk tujuan di atas. Taman Baca, bukan sekedar Taman Bacaan. Ada perbedaan fungsional di antara kedua konsep itu. Istilah "taman bacaan" terdiri dari komponen kata "taman" dan "bacaan". Taman Bacaan merujuk pada infrastruktur tempat dan "bacaan" (buku). Jadi, "taman bacaan" berfungsi sebagai tempat di mana buku bacaan diadakan. Pengertiannya hampir sama dengan kata "perpustakaan" (biblioteque), merujuk kepada benda, tempat buku dikumpulkan; dimana peri laku orang yang pergi ke tempat itu ditentukan sepenuhnya oleh kepentingan dia, baik dalam memilih buku maupun menggunakannya.

Taman Baca agak berbeda. Terdiri dari kata benda "taman" dan kata kerja "baca". "Taman" memang bermakna fisik seperti pada konsep Taman Bacaan. Bedanya, kata "baca" menggambarkan aktivitas membaca atau mempelajari. Jadi, Taman Baca adalah suatu tempat atau lokasi (infrastruktur) yang dilengkapi dengan bacaan (buku) dan juga dilengkapi dengan program belajar yang direkayasa. Jadi ada aktivitas sosial yang terprogram. Taman Baca adalah baik pembangunan infra-struktur maupun pengembangan proses sosial untuk memanfaatkan infra-struktur yang ada.

Taman Baca direkayasa sebagai satu sistem yang memadukan pengadaan lokasi untuk belajar, pengadaan sumber informasi yang bervariasi yang membantu anak belajar (buku, film, alat peraga atau alat pelatihan bahasa Inggris, komputer dan internet), suatu program belajar "semi asrama" yang mendorong anak menggunakan waktu sesudah sekolah untuk belajar (membuat tulisan ilmiah, tugas-tugas sekolah, kamus biologi dalam bahasa daerah, dll), program belajar kebudayaan setempat (bahasa daerah, silsilah keluarga, kearifan lokal) dan memberikan tambahan gizi untuk anak.

***

Bayangkan sebuah interaksi tua, guru dan lembaga agama di mana anak-anak kampong mendapat pendidikan keagamaan yang baik sehingga dia makin takut pada TUHAN. Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan. Takut akan TUHAN membuatnya menjauhi larangan TUHAN, takut akan TUHAN membuat dia menjauhi kelakuan yang menghabiskan dana, daya dan waktu untuk hal sia-sia. Menjauhi alcohol, menjauhi perzinahan, menjauhi pergaulan bebas. Membebaskan generasi muda dari HIV/AIDS. Takut akan TUHAN membuatnya focus pada study.

Bayangkan sebuah program di mana anak-anak kita mendapatkan langsung dari orang tua pendidikan bahasa dan budaya local. Membuatnya paham adat dan budayanya. Membuatnya mengenal falsafah, mengerti hubungan kekeluargaan, mencintai budaya dan adatnya. Membentuk komitmen kuat dan idealisme untuk membangun kampong.
Bayangkan anak-anak yang biasanya suka menyanyi memulai pengenalan bahasa Inggrisnya dengan menyanyikan lagu-lagu reggae, country, jazz hingga lafalnya bagus dan kemudian seorang tutor tinggal menata kalimat yang sudah familiar di lidah itu dengan menjelaskan grammar and spelling yang tepat.

Bayangkan jika anak-anak yang mendapatkan kursus bahasa Inggris, computer dan internet bisa mempraktekkan bahasa Inggrisnya dengan anak-anak sekolah di Nederland, Australia, New Zealand atau negara lain melalui media email, messenger chatting, facebook. Kalau beum ada listrik, biasakan jari anak di mesin ketik dulu sebelum beralih ke penggunaan computer.
Bayangkan komunikasi antara anak kampong dengan anak-anak di negara maju kemudian berkembang menjadi program pertukaran pelajar antara anak sekolah di Negara maju dengan anak sekolah di kampong, berkembang menjadi program anak asuh atau mendapatkan beasiswa untuk study di luar negeri.

Bayangkan anak-anak bisa belajar matematika atau IPA dibawah bimbingan seorang tutor yang ahli, menggunakan program animasi yang memudahkan mereka memahami kaidah-kaidah sains dengan lebih enteng. Pada bidang biologi misalnya, bayangkan sebuah program di mana anak-anak menggunakan kamera mendokumentasikan berbagai jenis ikan, kepiting, kerang, atau makhluk laut lainnya berbagai tumbuhan baik dalam bahasa Indonesia, Latin dan Bahasa Daerah.Sebuah program yang menarik anak-anak untuk membaca dan belajar dengan film, animasi dan tutor serta sekaligus mengaplikasinya melalui praktek membuat karya tulis, penelitian, speaking, writing etc.

Bayangkan program ini mendapat perhatian dan dukungan dana yang kuat sehingga bisa bekerja sama dengan program Prof Yohanis Surya untuk mengikutkan mereka yang terbaik dalam program belajar di bawah bimbingan beliau.

Untuk membuat visi ini menjadi nyata, kita memerlukan pembangunan satu infrastruktur di mana ada bangunan perpustakaan, di mana buku-buku pelajaran sesuai kurikulum nasional disiapkan, dimana ada tempat yang nyaman untuk membaca dan belajar kelompok dilakukan, di mana tersedia buku pelajaran agama ada, di mana ada kerja sama antara pengelola taman ini dan pihak sekolah untuk beberapa program khusus seperti memberi PR yang referensnya bisa dicari di Taman Baca, di mana ada kursus bahasa Inggris, di mana ada kursus computer, dimana ada film dan infokus serta berbagai program di mana program internet masuk kampong ditempatkan di sana, di mana melalui internet anak-anak memiliki link komunikasi dengan anak-anak sekolah di luar negeri dan di mana anak-anak mendapat pelajaran budaya dan bahasa setempat.

Saya yakin pendekatan ini akan bisa membuat anak kampong tidak terlalu kampungan ketika suatu saat dia akan melanjutkan study ke kota. Proses ini saya yakin akan meletakkan dasar yang kuat untuk membangun rasa PD. Dan itulah yang hendak saya lakukan di kampong saya.

Apa saja yang sudah saya lakukan? Bibit bukti apa yang saya tanam? Dan apa saja yang bisa kita kerjakan bersama dalam satu solidaritas besar untuk Papua?

(bersambung)

0 komentar:

:::PENGUNGUMAN:::
English French German Spain Italian Dutch