Renungan Anak Kampung

Salah satu sisi buruk kebijakan pendidikan di Indonesia yaitu adanya perbedaan antara sekolah favorit di kota besar dan sekolah pinggiran di daerah terpencil (remote area). Lalu Ujian Akhir Nasional (UAN) diadakan untuk menyamakan kualitas lulusan. Oleh karena fasilitas pendidikan di masing-masing sekolah memiliki mutu bervariasi, maka kebijakan nasional ini seperti adu balap antara pengedara mobil dan pejalan kaki di jalan tol. Karena pendidikan diarahkan untuk memenuhi pasar tenaga kerja, maka pendidikan di kampung terpencil yang minim fasilitas akan menghasilkan buruh kasar dan terbelit kemiskinan. Orang miskin tetap saja akan miskin dan orang kaya akan makin kaya.

Salah satu kelompok siswa yang potensial menjadi korban dari system ini adalah anak-anak di kampong-kampung terpencil di Papua. Laporan Gubernur Papua tahun 2007 menyebutkan “education in Papua villages was mostly ineffective, non-formal education to empower the community was not well developed” dengan 6 (enam) persoalan utama yaitu masalah guru dan tutor, masalah domisili siswa yang jauh dari pusat belajar, masalah model pendidikan di kampong, masalah peralatan pendidikan, masalah infrastruktur pendidikan, dan masalah partisipasi public (PEOPLE DRIVEN DEVELOPMENT : Report From Trip to Papuan Villages by Governor Barnabas Suebu and Vice Governor Alex Hesegem 2007, p. 13 – 15). Kondisi ini berpotensi menciptakan beberapa bentuk akibat buruk bagi anak-anak dan masyarakat kampong misalnya:

(1). Anak-anak belajar hanya supaya bisa lulus ujian dan bukan supaya memiliki pengertian, ilmu pengetahuan dan keterampilan.
(2). Banyak siswa yang tidak dapat lulus Ujian Nasional dan harus mengulang. Sementara umur siswa bertambah. Akibatnya, umur produktif siswa makin banyak yang habis di bangku sekolah
(3). Kalau siswa lulus ujian nasional, kemungkinan mereka akan mengalami masalah untuk lulus dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru. Siswa lulusan kampong sulit bersaing dalam mendapatkan pendidikan di Universitas.
(4). Jika mereka lulus dalam seleksi penerimaan mahasiswa, mereka kesulitan untuk mengikuti proses pendidikan di universitas dan membuat mereka frustrasi untuk meneruskan pendidikan lebih lanjut.
(5). Pada umumnya mereka yang drop out baik di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi akan frustrasi dan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan bagi masyarakat maupun gereja, seperti mabuk, berkelahi, dll.
6). (Kalau mereka berhasil mendapatkan kerja, maka pekerjaan yang diperoleh pada umumnya low level karena minimnya ketrampilan. Tapi pada umumnya yang terjadi adalah anak-anak kampong lebih banyak kembali ke kampong tanpa pekerjaan tetap.

Baik dari kepentingan masa depan anak sendiri, kepentingan suku & keret (marga), dari kepentingan pembangunan kampong maupun dari kepentingan pembangunan mental spritual, situasi ini memberikan kontribusi negative. Oleh sebab itu, keadaan ini harus ditangani secara bersama. (Korido, 3 Juli 2010, by Yosef Rumaseb)

0 komentar:

:::PENGUNGUMAN:::
English French German Spain Italian Dutch