Kayu Gaharu, Sang Pohon Dewa !!!

Kayu Gaharu, Sang Pohon Dewa !!!


Lompatan gaya hidup telah terjadi. Mereka yang semula hidup dengan pola natura kini dihadapkan pada sebuah dunia dagang yang penuh hiruk pikuk. Aneka jenis barang yang tak pernah mereka temukan sebelumnya tiba-tiba hadir di depan mata. Beras dengan cepat menggantikan sagu, senapan angin mengganti panah, dan dayung tergantikan oleh perahu bermesin. Bahkan, barang-barang elektronik begitu mudah didapat, termasuk segala jenis barang yang sebelumnya hanya dinikmati masyarakat yang mengaku modern.

Gaharu benar-benar menjadi magnit. Hutan-hutan yang sebelumnya tak pernah diinjak manusia tak sejengkal pun lolos dari perhatian para pendatang. Awalnya, perburuan gaharu hanya dilakukan di wilayah pesisir Laut Arafuru seperti di Agats. Namun setelah delapan tahun, nafsu untuk memburu kayu ini telah merambah jauh ke pedalaman di sepanjang dataran rendah Asmat hingga ke lereng-lereng gunung di Wamena.

Gaharu sebenarnya adalah sebuah virus yang menginfeksi pohon-pohon jenis aquilaria yang hidup di dataran rendah dan rawa-rawa. Infeksi virus itulah yang kemudian membuat gubal pohon ini menjadi wangi dan diburu orang karena berharga mahal. Di wilayah Asmat satu kilogram kayu gaharu kualitas super bisa dihargai hingga Rp 8 juta. Sedangkan di wilayah lain seperti di Jawa harganya bisa melonjak hingga Rp 15 juta per kilogram. Perburuan kayu gaharu di Papua sebenarnya sudah dimulai sejak dimulai 1990 seiring punahnya kayu cendana di Nusatenggara dan semakin langkanya gaharu di Kalimantan.


KISAH perburuan gaharu di Papua dimulai sejak 1990 ketika sejumlah hutan gaharu di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumbawa (NTB) mulai punah. Pemburu dan pemodal mulai melirik Papua sebagai daerah sasaran perburuan gaharu.

Perburuan dimulai di hutan-hutan pedalaman Jayapura, kemudian beralih ke Mimika, terus sampai pedalaman Merauke yakni wilayah suku Asmat. Walau menghadapi berbagai kesulitan geografis namun pemburu ini mencarter helikopter untuk berburu gaharu di pedalaman Papua.

Di Mimika, tahun 2001 terjadi pembantaian tujuh pencari gaharu asal Sulawesi di Kali Kopi, Mimika oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pencarian gaharu diduga dibekingi oknum aparat keamanan, yang pada saat itu membangun pos komando khusus di Kali Kopi untuk memantau dan mengawasi keamanan para pencari gaharu.

Worl Wide fund for Nature (WWF) Bioregion Sahul, Papua melaporkan, pemburu gaharu saat ini menguasai sebagian Taman Nasional Laurentz. Mereka berhasil membujuk penduduk setempat kemudian masuk ke pedalaman Taman Nasional Laurentz, merusak hutan dan satwa di dalam taman itu.

Mereka tidak hanya mengambil gaharu, tetapi sekali jalan mereka juga mengambil burung cenderawasih, kasuari, rusa, dan kanguru serta tumbuh-tumbuhan tertentu. Para pemburu gaharu ini mendapat dukungan kuat dari pengumpul di kota. Mereka dibekali bahan makanan dan uang selama berburu di hutan, kata Direktur WWF Bioregion Sahul, Benya Mambay.

Informasi yang diterima seorang pemburu gaharu yang tidak bersedia disebut namanya, mereka mendapat senjata (pistol) dari aparat keamanan selama berburu gaharu di hutan Kali Kopi, Mimika. Tetapi syaratnya, hasil perburuan gaharu dan hewan lain yang ditemukan di hutan dibagi dengan anggota TNI itu.

Berburu gaharu di Papua penuh risiko dan tantangan. Kondisi geografis yang sulit ditempuh, berikut kehadiran OPM yang menguasai sebagian wilayah hutan rimba. Karena itu pemburu gaharu sering bekerja sama dengan aparat keamanan sehingga mendapat akses ke pedalaman.



MENGAPA gaharu begitu diminati


Tidak semua orang mengerti dan mengenal gaharu secara keseluruhan. Penduduk lokal pun tidak paham mengenai fungsi gaharu.

Kayu ini menjadi berarti bagi orang Papua ketika warga pendatang mulai ramai-ramai mencari dan memburu. Perburuan gaharu dimulai pada tahun 1990, namun orang Papua mulai menyadari fungsi hutan gaharu setelah tahun 1997, saat Gubernur Papua Jacob Pattipi resmi melepas ekspor kayu gaharu pertama dari Papua sebanyak 4,5 ton melalui PT Artha Group ke Singapura dan Cina.

Perusahaan itu, sejak saat itu dipercaya menjadi pengumpul gaharu. Namun, perusahaan tersebut tidak beroperasi lagi di Papua menyusul sejumlah anak buahnya disandera OPM di Kali Kopi, Mimika.

Gaharu adalah sejenis kayu yang menghasilkan gubal. Gubal ini jika dibakar mengeluarkan aroma wangi. Jenis pohon penghasil gubal ini, banyak ditemukan di hutan primer India, Burma, Malaysia, Indonesia, dan Filipina, 300-600 meter dari permukaan laut (dpl).

Kayu gaharu mudah rusak sehingga sangat jarang dipakai sebagai bahan bangunan. Kayu ini lebih banyak dimanfaatkan untuk dupa, dan upacara adat dan agama jika telah menghasilkan gubal. Selain itu juga bisa sebagai bahan kosmetik, obat reumatik, obat gosok, tonikum, penyembuh perut kembung, dan seterusnya. Dengan proses penyulingan, kayu ini dapat menghasilkan minyak asiri.


Kayu gaharu termasuk suku Tymelameaceae, marga Aquilaria. Jenisnya antara lain, Aquilaria malaccaensis, Aquilaria agallocha, Aqiliaria microcarpa, Gonystylus spp, dan Aquilaria sinensis. Jenis yang paling digemari pemburu gubal gaharu karena wanginya adalah Aquilaria malaccaensis. Di Papua lebih banyak didomininasi jenis Aquilaria microcarpa kecuali wilayah selatan Papua yakni Merauke, Timika, dan Fakfak lebih banyak jenis Aquilaria malaccaensis.

Semestinya pemburu gaharu sudah melalang buana di seluruh hutan rimba Papua. Tetapi kondisi geografis yang begitu sulit dijangkau, ditambah keamanan tidak stabil membuat pencari gaharu berhati-hati.

Di samping itu, panjangnya mata rantai dan biaya transportasi yang mahal dari perburuan hingga perdagangan antarpulau membuat tidak banyak orang terlibat dalam bisnis ini. Tetapi tidak sedikit yang berani mempertaruhkan dana puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk meraup untung yang bisa dipastikan tidak kecil pula.

Perburuan gaharu jenis Aquilaria malaccaensis dan sejenisnya begitu gencar karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Melalui proses alamiah kayu ini dapat menghasilkan gubal yang aromanya harum. Gubal gaharu adalah kayu gaharu yang mengalami pelapukan dan mengandung damar wangi (aromatic resin) sebagai akibat serangan jamur.

Kandungan damar wangi ini menyebabkan gubal gaharu menjadi komoditas ekspor demi kepentingan industri dan parfum, hio, setanggi (dupa), dan obat-obatan. Nilai ekonomi yang diperjualbelikan di kalangan masyarakat pemilik hak ulayat seperti di Agats, Etji, Atsj, dan Sawaerma Rp 7,5 juta - Rp 10 juta per kg untuk jenis super.

Sebagai komoditas ekspor sumbangan gubal gaharu untuk devisa negara termasuk tinggi. Tahun 1997, devisa negara yang dihasilkan Rp 270,82 milyar hanya dengan volume 309,8 ton.

Untuk mendapatkan gubal gaharu, pemburu mencari dan menebang pohon gaharu di hutan. Dalam proses ini sering tidak ditemukan gubal yang berharga, tetapi pohon telanjur ditebang. Akibatnya, hutan rusak dan jenis kayu langka ini pun mulai punah.

Penebangan pohon gaharu semakin tinggi akibat permintaan pasar akan gubal gaharu makin tinggi. Sementara produksi masih sangat tradisional, hanya mengandalkan penebangan pohon di hutan. Ini terjadi karena pengetahuan dan keterampilan pemburu atau masyarakat pemegang hak ulayat masih sangat rendah mengenai gaharu.

Kepunahan gaharu di sebagian wilayah Asia mendorong sidang Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) IX di Florida, November 1994 memutuskan pohon gaharu dimasukkan di dalam Appendix II. Artinya, penebangan kayu gaharu dan ekspor hasil ikutannya seperti gubal gaharu harus dibatasi.

Papua memiliki hutan yang begitu luas (3,5 kali luas Pulau Jawa) dengan penduduk 2,2 juta jiwa (2000). Tingkat kepadatan penduduk sekitar 5.500 per km2. Dengan demikian sangat sulit masyarakat melakukan kontrol dan pengawasan terhadap perburuan gaharu liar di hutan belantara Papua.

Apalagi, di tengah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan keterisolasian yang sedang menimpa masyarakat. Masyarakat mudah ditipu dan dibohongi.

Di Papua dalam aksinya para pemburu gaharu selalu membawa bahan kebutuhan pokok selama berkelana di hutan. Kepada masyarakat pemilik tanah adat, pencari gaharu menawari kebutuhan pokok seperti gula pasir, rokok, ikan kering, beras, dan seterusnya yang ditawari dengan kayu gaharu.

Sumber : LINK dan LINK

0 komentar:

:::PENGUNGUMAN:::
English French German Spain Italian Dutch